Minggu, 30 Mei 2010
Minggu, 11 April 2010
Musik Progressive
Musik Progressive Rock merupakan jenis musik yang penuh dengan ambiguitas dan banyak menimbulkan kontroversi. Para kritikus musik menghujatnya sebagai musik elitis dan penghianatan terhadap semangat musik Rock and Roll yang populis; sementara pendengar umum mem-vonis musik Progressive sebagai terlalu rumit, pretensius, kuno, dll. Bahkan penggemar musik Progressive sendiri sering tidak sepaham mengenai bagaimana mendiskripsikan musik yang mereka cintai.
Ada 2 pengertian tentang Musik Progressive – yang mana satu definisinya lebih sederhana dan jelas dibanding yang lain. Definisi Progressive pertama (yang lebih sederhana) adalah jenis musik yang berkembang di dekade 70-an oleh dewa-dewa progressive 70-an seperti Yes, Genesis, King Crimson, Emerson Lake & Palmer, Pink Floyd, Jethro Tull dll. Inilah Progressive Rock yang banyak dikenal orang dengan ciri-ciri aransemen musiknya yang kompleks, dinamis dan multi-dimensional; komposisi berdurasi panjang, terbagi atas bagian-bagian dengan tema yang biasanya mengambil subjek dari mitologim, fiksi ilmiah atau fantasi. Supergroup Progressive tahun 70-an mendobrak musik Rock konvensional dengan kemahiran tehnis musisinya dan koser-konser yang spektakuler.
Definisi yang kedua mungkin lebih didasari oleh maksud dan tujuan musisi yang bersangkutan dalam berkarya daripada jenis atau style musik yang kongkrit. Secara sederhana, musik Progressive adalah musik yang berusaha untuk membawa sesuatu yang baru – selalu bergerak maju dan berkembang (bukankah kata “progressive” berasal dari kata “progress” yang artinya kemajuan atau perkembangan). Defini inilah yang membingungkan banyak orang karena hanya dengan didasari motivasi musisi untuk menciptakan sesuatu yang baru sangat sulit untuk menjelaskan (atau memperdengarkan) style musik yang dapat dikategorikan Progressive.
Untuk dapat memberikan gambaran mengenai betapa besarnya perbedaan antara kedua definisi diatas, kita perlu mundur dan melihat sejarah musik progressive sejak kelahirannya di tahun 60-an dan perkembangannya setelah itu terutama di masa kejayaannya pada dekade 70-an.
1965 – 1967 – Masa Pscychedelic
Progressive Rock yang lahir dari gerakan counterculture tahun 60-an berusaha mendobrak pengkotakan musik Rock dan mengeksplorari bentuk-bentuk baru. Musik Progressive yang paling dikenal adalah kombinasi energi musik Rock dengan musik Klasik yang megah dan monumental tetapi ada pula yang menggabungkan unsur-unsur jazz, folk, R&B, avant-garde,world music, dll.
Cikal bakal musik Progressive Rock adalah Psychedelic Rock yang lahir di lingkungan underground di Inggris pada pertengahan tahun 60-an dengan ciri khas image berupa warna-warna cemerlang and halusinogenis (psychedelic) dan semangat eksperimental yang mendobrak batas-batas dan norma-norma yang ada sebelumnya. Di Inggris band-band seperti Pink Floyd, The Crazy World of Arthur Brown, Alexis Corner, The Pretty Things dan The Soft Machine merupakan band psycedelic yang paling popular. Sementara di Amerika Serikat, psycadelia betul-betul merajalela terutama di kultur underground di San Francisco yang juga dikenal dengan gerakan Flower Power .dengan group-group seperti: the Grateful Dead, Jefferson Airplane, Big Brother and the Holding Company dan lainnya.
Sementara itu kembali ke Inggris, band-band pop seperti the Beatles dan the Rolling Stones. juga mulai mengeluarkan album-album musik psychedelic. Album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (Juni 1967) merupakan eksperimen The Beatles dengan musik Psychedelic dan sering disebut sebagai pemicu gerakan Progressive Rock. Namun album Pink Floyd, Piper at the Gates of Dawn (Agustus 1967) dengan Syd Barret sebagai penulis utama, guitaris dan penyanyi menghasilkan yang dianggap sebagai album psychedelic terbaik.
1967 – 1969 – Lahirnya Progressive Rock
Dari ekperimentasi Psychedelic Rock, muncullah musik yang berani menggabungkan unsur-unsur rock dengan classic, jazz, folk, soul, avand garde, dll yang dinamakan Progressive Rock atau Art Rock. The Moody Blues merupakan group yang pertama kali menggabungkan rock dan musik classical symphonic dalam album Days of Future Passed (November 1967) yang kita kenal melalui lagu Nights in White Satin. Album ini merupakan pertama kalinya kita mendengar unsur-unsur yang menjadi ciri khas musik Progressive seperti: lagu-lagu berdurasi panjang, perubahan tempo, penggunaan orkes simphoni dan mellotrone, lirik yang bernuansa kosmik atau filosofis, dll. Album kedua The Moodies ini merupakan album konsep yang didukung oleh London Festival Orchestra ini mempunyai dasar cerita yang sangat sederhana yaitu mengikuti sehari dalam kehidupan manusia dari pagi sampai malam; dari bangun sampai tidur.
Setidaknya ada tiga album lain yang di release pada tahun 1968 merupakan awal kelahiran Progressive Rock. Pink Floyd mengeluarkan album keduanya A Sourceful of Secrets (Juni 1968), album kedua Procol Harum – Shine on Brightly (Desember 1968) yang berisi karya utama sepanjang 18 menit, In Held Twas in I. Dan, yang tak kalah penting adalah, The Nice dengan Thoughts of Emerlist Davjack (Januari 1968) yang menampilkan kepiawaian Keith Emerson pada keyboard dengan hit America yang diadaptasi dari musikal West Side Story karya Leonard Bernstein.
Tetapi peristiwa yang mencanangkan kelahiran Progressive Rock adalah King Crimson dengan album mereka In the Court of the Crimson King pada bulan Oktober 1969. King Crimson yang baru dibentuk pada bulan Januari 1969 oleh Robert Fripp menghasilkan karya yang sangat padat dan penuh emosi yang di dominasi oleh nada dan kunci minor. Aransemen King Crimson walaupun sangat symphonic namun mempunyai pengaruh Jazz modern yang kuat dengan perubahan dari gerakan megah menuju anti klimak dalam sekejap.
Dekade 1970-an – Masa Keemasan Prog Rock
Tahun 70-an merupakan era kejayaan musik Progressive; genre ini berkembang dengan sangat subur dan kreatfitas para musisi di masa itu melahirkan bermacam-macam sub-genre. Kelompok-kelompok musik Progressive seperti Yes, Genesis, ELP mulai menemukan ciri khas sound mereka masing-masing
Emerson, Lake & Palmer merupakan supergroup Progressive pertama. Ketiga anggota ELP, Keith Emerson (dari The Nice), Greg Lake (dari King Crimson) dan Carl Palmer (dari Atomic Rooster, the Crazy World of Arthur Brown) sudah merupakan superstar sebelumnya. Album perdana ELP yang keluar pada bulan November 1970 langsung meledak dan sangat berbeda dengan kebanyakan group musik berorientasi gitar heavy metal pada saat ini seperti Led Zeppelin, Cream, Deep Purple, dll. Album berjudul Emerson, Lake and Palmer itu menampilkan kepiawaian ketiga personilnya yang mempesona audiens rock tapi juga menampilkan balad “Lucky Man” yang memperkenalkan suara Moog Syntheziser kepada dunia. Album berikutnya Tarkus (Juni 1971) merupakan menampilkan lagu Tarkus yang berdurasi lebih dari 20 menit terdiri dari 7 bagian bertemakan manusia melawan teknologi.
Kelompok Yes yang berdiri pada bulan Juli 1968 berhasil menemukan ciri khasnya setelah album ketiga mereka, The Yes Album (Maret 1971), dengan masuknya gitaris Steve Howe menggantikan. Musikalitas Yes semakin kaya dengan bergabungnya keyboardis luar biasa,Rick Wakeman, di album Fragile (Januari 1972) dengan hit dan favorit pertunjukan live mereka, Roundabout. Formasi inilah yang menghasilkan yang oleh banyak orang dianggap sebagai karya terbaik Yes – Close to Edge (September 1972). Album Close to Edge yang hanya terdiri dari 3 lagu merupakan terobosan yang membawa musik rock dalam konteks musik Simfoni dengan lagu-lagu yang berdurasi panjang, bervariasi berdasarkan 1 tema melodi, bagian/movement, mood, tempo, tekstur dan density yang berubah-ubah.
Sementara itu, kelompok Genesis berkembang diluar pengaruh band-band se-angkatan mereka. Album pertama mereka From Genesis to Revelation (Maret 1969) lebih berorientasi pop dan tidak terlalu berhasil. Mungkin karena kegagalan album pertamanya, Genesis mengunci diri dan berlatih dengan dedikasi tinggi dan menghasilkan album Trepass (Oktober 1970). Album ini mengandung banyak unsur yang mendefinisikan musik Progressive – elemen-elemen warna, kehangatan, perubahan kunci nada yang rumit, dinamika musik akusitik dan elektrik dan lirik yang bersifat fantasi. Genesis semakin memantapkan dirinya sebagai supergroup progressive dengan bergabungnya Steve Hackett dan Phil Collins di album Nursery Crime (November 1971) kemudian mahakarya Foxtrot (Oktober 1972) dengan lagu Supper’s Ready sepanjang 23 menit yang terdiri dari 7 bagian.
Walaupun merupakan pionir Progressive Rock, King Crimson memilih jalur lebih tidak komersial dibanding ELP, Yes dan Genesis. Setelah mengalami bongkar pasang personil mengeluarkan album ke-4 mereka Islands (Desember 1971). Album ini lebih tenang dan gelap daripada 3 album pertama dan mencanangkan arah baru King Crimson yang lebih eksperimental. Dengan bergabungnya Bill Bruford (Yes) dan John Wetton (Family) di album Lark’s Tongue in Aspic (Maret 1973) penekanan terhadap improvisasi dan tensi dalam musiknya membuat sulit bagi para kritisi dan pendengerannya untk mengkategorisasi musik King Crimson…Rock? Jazz? Avant-Garde?
Di awal 70-an supergroup ELP, Yes dan Genesis sudah menempatkan diri sebagai supergroup dan mainstream musik Progressive dan menjadi tonggak sub-genre Symphonic Progressive Rock karena pengaruh musik klasik-nya yang lebih dominan dibanding sub-genre lainnya. Perkembangan musik Progressive pada dekade 70-an melahirkan berbagai Sub-Genre dengan ciri khasnya masing-masing. Tumbuhnya bermacam-macam sub-genre Progressive pada saat itu menunjukkan kebebasan kreativitas yang berkembang saat itu baik dari para musisi yang mengekplorasi bermacam-macam jenis musik maupun dari perusahaan rekaman yang mendukung upaya-upaya eksperimentasi musisi tersebut.
Cabang Progressive pertama berkembang dari di wilayah Canterbury di Inggris Selatan sehingga sub-genre ini dinamakan Canterbury Scene. Perkembangan musik Canterbury banyak dipengaruhi oleh musisi-musisi jazz seperti Charles Mingus, Ornette Coleman dan Thelonious Monk. Dari sebuah band bernama Wilde Flowers (yang sayangnya tidak pernah merekam album) lahir group-group Canterbury seperti Soft Machine, Caravan, Matching Mole, Gilgamesh, Hatfield & the North, National Health, dll.
Masih membawa pengaruh kuat musik Psychedelic, Pink Floyd setelah ditinggalkan peminpinnya Syd Barret juga mulai bereksperimen dengan sound yang lebih surialistis, avant-garde, menghanyutkan dan melahirkan sub-genre Space Rock. Dengan peran Roger Waters dan David Gilmore yang makin dominant, Pink Floyd menelurkan album-album yang bernuansa space psychedelic sampai maha karya mereka Dark Side of the Moon (Maret 1973). Pink Floyd bersama dengan group-group seperti Hawkwind, Gong, dll. Merupakan pionir sub-genre Space Rock.
Diseberang Selat Inggris, group Perancis Magma yang dipimpin oleh Christian Vander mengembangkan aliran tersediri yang sangat berbeda dengan style musik umumnya. Musik Magma yang dipengaruhi oleh legenda jazz John Coltrane serta composer Bela Bartok, Stockhausen begitu berbedanya seakan-akan dari planet yang lain sehingga diberi sub-genre tersediri: Zeuhl. Dipihak lain, kelompok Henry Cow dengan musik mereka yang sangat kompleks, penuh improvisasi dan lirik-lirik yang sangat politis melahirkan sub-genre sendiri yang oleh drummernya, Chris Cutler, dinamakan RIO (Rock-in-Opposition)
Masih banyak sub-genre Progressive yang merupakan label untuk memberi bayangan tentang musik karya ribuan artis Progressive antara lain Folk Prog untuk musik yang berbau Folk seperti Jethro Tull, Strawbs, Fairport Convention, dll. atau Electronic Prog dimana instrument keyboard elektronik (synthesizer, mellontron, dll) sangat dominant seperti Vangelis, Synergy, Tangerine Dream, dll dan Kraut Rock, label yang diberikan kepada group-group Jerman yang sangat unik (mungkin aneh) dan avant-garde seperti Faust, Can, Neu!, dll.
Perlu diperhatikan bahwa pembagian kedalam sub-genre sendiri bertentangan dengan semangat musik Progressive yang tidak mau dibatasi dan dikotak-kotak. Karya-karya musisi Progressive sangat beraneka ragam bahkan group yang sama dapat menghasilkan karya-karya yang mempunyai nuansa yang berbeda-beda (Klasik, Jazz, Minimalis, dll.).
1980-an – Masa Neo Prog
Menuju akhir tahun 70-an, musik Progressive mulai kehilangan pamornya digempur serangan musik Punk sebagai pemberontakan terhadap norma-norma generasi sebelum dan perlawanan kaum muda terhadap segala sesuatu yang mapan. Selain itu perusahaan rekaman berkembang menjadi industri rekaman yang merupakan big business. Album musik mulai dinilai sebagai “produk” yang dihargai dari segi “unit” yang terjual. Perusahaan rekaman tidak lagi memberi musisi kebebasan untuk berkarya (walaupun ada pengecualian) dan memaksa musisi untuk menghasilkan musik sesuai selera pasar.
Group-group Progressive dijuluki sebagai Dinosaur dan mulai punah dan mereka yang masih bertahan mulai meninggalkan musik Progressive. Robert Fripp sudah jauh hari membubarkan King Crimson pada tahun 1974 setelah me-release Red (Oktober 1974) karena merasa musik Progressive sudah mencapai puncaknya. Yes, setelah ditinggal John Anderson dan Rick Wakeman masih mengeluarkan album Drama (Agustus 1980) kemudian memutuskan untuk bubar (walaupun dengan anggota baru Trevor Rabin tapi dengan warna musik yang lebih mainstream di album 90125 tahun 1983). Genesis, setelah kehilangan Peter Gabriel kemudian Steve Hackett, memutuskan untuk mengambil jalan lebih sederhana setelah album And Then There Were Three…(April 1978). ELP setelah gagal dengan usaha untuk lebih komersial dalam album Love Beach (Oktober 1978) juga memutuskan untuk bubar
Namun, ketika api Progressive hampir padam, sekolompok musisi muda merevitalisasi Genre ini. Walaupun sound mereka lebih sederhana dan lebih bernuansa 80-an, band-band seperti Marillion, IQ, Twelfth Night, Pallas dan lain-lain dengan bangga mengibarkan bendera Progressive.
Musik Progressive mengalami kelahiran kembali di tahun 90-an, kali dengan cara yang lebih perlahan. Label-label independen, Internet dan Festival-festival Progressive di seluruh dunia memberikan jalur baik untuk musisi dan fans untuk memainkan dan mendengar musik Progressive. Musisi Progressive generasi baru merelease karya-karya yang dipengaruhi oleh band-band tahun 70-an dengan nuansa 90-an seperti Spock’s Beard, Flower Kings, Anglagard, dll.
Selain itu, band-band Progressive tahun 70-an juga mengalami kelahiran kembali dengan bergabungnya kembali band-band legendaries seperti ELP melalui album Black Moon (Juni 1992), Yes kembali ke jalur Progressive dengan Keys to Ascension 1 (Oktober 1996), Pink Floyd (tanpa Roger Waters) dengan album The Division Bell (Maret 1994) dan King Crimson lahir untuk ketiga kalinya dengan Vroom (Oktober 1994) setelah Robert Fripp membubarkan King Crimson era 80-an pada tahun 1984.
Era 90-an juga melahirkan beberapa Sub-Genre baru dalam semangat pembaruan. Pertama-tama adalah sub-genre Prog Metal yang menggabungkan kerasnya Heavy Metal dengan kemegahan dan kompleksitas Symphonic Prog yang dibawakan oleh seperti: Dream Theater, Angra, Fates Warning, Pain of Salvation, dll. Selain itu, dari musik New Wave dipengaruhi oleh musik Psychedelic, Industrial dan Minimalis lahirlah Post-Rock yang dipelopori oleh Talk Talk, Radiohead, Tortoise, dll.
Selama ada musisi yang masih menghasilkan karya kreatif dan original, selama musik masih berkembang dan tidak ingin terbelenggu dalam konvensionalisme maka musik Progressive akan tetap hidup.
Selasa, 06 April 2010
homealone sebuah band Post punk / Garage / Folk yang berasal dari SOLO JAWA TENGAH INDONESIA. Band yang memiliki 5 personil diantaranya ROBING ADI IRAWAN - vocal / guitar
ABDURRACHMAN SYA'BANI NASUTION - bass / vocal
BAYU SUSILO - guitar
IWAN ARDIANSYAH - keyboard / synthesizer
FRANGKY ANTON PURNAMA HIDAYAT - drum
band yang sempat beraliran SKA PUNK, ternyata telah mengalami perubahan yang lebih dewasa dan pas bagi mereka menjadi Post punk / Garage / Folk
KITA SEDIKIT BERMAIN DENGAN CARA YANG BERBEDA, TAPI TETAP TANGGUNG JAWAB PADA KENYAMANAN PENDENGARAN. MIX DAN COMBINE SOUND, KARAKTER YANG ABSURD, SEDIKIT GALAU NAMUN MASIH MEMBERIKAN AURA POSITIF. KESENDIRIAN MUNGKIN SEBUAH RACUN YANG MENJADIKAN KITA BERTERIAK SEKERAS - KERASNYA UNTUK SEBUAH HAL YANG KITA PAHAMI BENAR. PEKERJAAN, UANG, HARGA DIRI SEDIKIT KATA KATA YANG DIAMBIL DARI MYSPACE MEREKA.
band ini memiliki 3 lagu
-screaming snake dance
-you're recycle bin
- hope, work, pray
lagu lagu tersebut langgsung bisa di dengarkan di musik player blog ini,,
band yang telah beridiri di tahun 2006 ini
mungkin ceritan tentang HOMEALONE masih akan berlanjut......
Minggu, 04 April 2010
SEDIKIT CATATAN YANG DIAMBIL DI CATATAN FACEBOOK CARMENT OF SAMPLE TERROR
keterbatasan dana maupun pengalaman, bersama kondisi semuanya kami masi terikat dengan studi masing masing yang ternyata semuanya itu tidak dapat ditoleril oleh band
Dari keterbatasan dana tersebut yang menuntut kami harus melakukan segala sesuatunya sendiri, dari teknis maupun mekanical untuk band yang memang seharusnya tidak kami sendiri yang mengerjakan. dari operating record dan proses mixing. Dan juga minim nya pengetahuan dan wawasan tentang teknis dan fakor faktor penunjang lainya untuk bermusik.
dimana kami harus terus belajar dan menggali sesuatu halnya agar dapat mendukung apa yang kami ingin ceritakan kepada teman-teman sekalian.
Dan bukan hanya dari segi materi,teknis maupun wawasan yang begitu dangkal yang
membuat kami begitu kurangnya kepercayaan diri,yang ternyata begitu berimbas pada peforma band.
Tetapi itu semuanya tidak menjadi sebuah perumusan kami untuk mengurungkan niatan untuk tidak melanjutkan kisah kasih ini.
Dari dukungan teman-teman yang selalu mendukung dan mensupport kami terhitunglah dari awal 2008 begitu banyak lagu yang bisa kami dokumentasikan.
-. rock n roll depresi -.yeah love song -.hello lets go -.wait for -.paranoid kill me -.Dunia perang -.folk -.unrelax dilemma -.on my birth -.warria -.(cover) disko matematis -.tragic premature -.janji susi,Dan masi begitu banyak lagu yang lain dimana tinggal melewati proses recording.
Tahun 2008 LP Unrelax dilema yang kami rencanakan disokong dengan 8 lagu diantaranya
1.dunia perang
2.yeah love song
3.hello lets go
4.wait for
5.rock n roll depresi
6.folk
7.warria
8.paranoid kill me
lagu maupun cover sudah tersusun dengan baik yang tinggal melewati proses penggandaan.
Yang beberapa lagu, video/videoklipnya sudah beredar di sekitaran teman disolo maupun diluar solo.Dimana begitu banyak promo band dan perihal lain didalam maupun diluar solo sudah kami lewati. Untuk menunjang debut ini yang kami rencanakan awal tahun 2009 bisa terealisasi.
Waktu yang sangat lah tidak berpihak kepada kami, juga dikarenakan pincangnya pengaturan unsur-unsur lain didalam band dan kosekuensi-konsekuensi lainya yang harus dilakukan setelah debut keluar, membuat debut ini tidak bisa kami teruskan.
Begitu banyak konsep lagu dan keresahan hati yang tidak bisa terbendung lagi untuk dikeluarkan,menjadi alasan terbesar kami untuk memilih unrelax dilema menjadi perbendaharaan file kami.
nb:*
baru pertama kali dari banyaknya opini tentang semua ini
Sekarang kami mencoba lebih percaya diri!
CATATAN FB CARMENT OF SAMPLE TERROR
http://www.facebook.com/?ref=home#!/pages/CARMENT/77745738116?v=info
INDIE POP
Secara historis, indiepop merupakan varian atau subkultur dari punk yang mengalami transformasi dalam segi lirik dan musik. Muncul sejak akhir 70-an lewat para musisi post-punk; kemudian mengalami pembentukannya di pertengahan era 80, hingga merekah pada akhir 80-an dan awal 90-an. Sampai sekarang, indiepop telah banyak mengalami revolusi musikal yang beragam. Namun terlepas dari itu, substansi indiepop itu sendiri sama dengan punk; ia adalah punk dengan jaket pop minimalis yang sangat manis; indiepop kids (baca: indiekids) adalah punk dengan sepatu keds dan pakaian sesukanya. Ia memiliki ideologi, filosofis dan pola pikir yang independen, self-sustain dan self-indulgement. Hal ini terlihat secara konkrit dari banyaknya label pop independen yang merilis band/musisi indiepop sepanjang awal 80-an sampai sekarang; maraknya publikasi fanzine seperti propaganda punk di pertengahan 70-an; acara radio/musik, dsb. Secara kultur, indiepop terkomunal dan termajinal seperti halnya punk. Para pelaku dan musisi indiepop membentuk berbagai komunitas yang tersebar secara geografis dan terangkai secara komunikatif lewat fanzine serta sederet lawatan antar kota, daerah, dan negara.
Guna mengetahui latar belakang indiepop, kita perlu menelusuri dulu sejarah indie itu sendiri. Seperti diketahui, indie memang berasal dari kata independent. Namun harus dibedakan antara independen sebagai (1) status artis/band atau minor label yang tidak dikuasai/dikendalikan major label dan (2) independen dalam konteks indie sebagai subkultur dan genre musik. Untuk pengertian (1), sejarahnya dimulai sejak awal abad 20 dengan kemunculan minor label seperti Vocalion atau Black Patti yang kala itu berupaya mengikis dominasi major label semacam Victor, Edison, dsb. Walaupun independensi pada pola dan jaman itu tidak menjalin akar dengan pengertian (2), mereka bertendensi serupa sebagai antitesis mainstream dengan merilis musik kaum minoritas seperti blues, bluegrass, dsb. Tapi saat itu yang terjadi sekadar rivalitas antara kapital kecil melawan kapital besar dan pergerakannya tidak bersifat integral. Lalu di era 50-an mulai berkembang wacana independen untuk memerdekakan kreatifitas dari intervensi kepentingan industri. Kendati demikian, kondisi yang tercipta tidak menghasilkan karakter signifikan. Bipolarisasi terhadap arus utama belum terwujud. Mereka memang berproduksi secara minor tapi iramanya masih mengacu ke pola major label juga. Walaupun bermotif kebebasan berekspresi, mereka hanya independen secara kapital dari major label namun orientasi musiknya tetap setipe major label.
Kecenderungan awam dalam menyikapi istilah indie adalah menyamaratakan semua yang independen sebagai “indie”. Dengan demikian itu hanya bertumpu ke unsur kata (independen) saja sebagai kemerdekaan secara harafiah dan tanpa batas. Ada pula yang mempertanyakan “indie” dalam kapasitasnya sebagai kebebasan mutlak. Padahal independensi dalam wacana (2) sangat berbeda dengan (1). Artinya istilah indie sesungguhnya masih merujuk ke spesifikasi tertentu. Indie akan mampu dipahami secara proporsional bila ditelusuri ke konteks historis atau wacana terjadinya pembentukan istilah itu. Namun jarang ada media yang mau menggali lebih dalam. Sehingga “indie” cenderung dikotakkan sebagai musik laris manis yang cocok bagi selera awam. Sedangkan musik indie sesungguhnya yang underrated malah diabaikan. Hal semacam itulah yang kerap menimbulkan miskonsepsi publik bahwa “indie” semata-mata pola kerja dan kemurnian idealisme. Bagaimana bila sebuah band beridealisme mainstream tapi mereka berproduksi secara swadaya? Apakah itu termasuk indie? Tentu tidak. Karena independen secara minor label atau self-released tidak menjamin artis/label itu berkarakter indie. Karena seseorang yang berjiwa mainstream pun bisa saja menghasilkan karya berkarakter mainstream tapi dikemas secara “Do-It-Yourself” dengan dalih kebebasan ekspresi atau budget minim.
Kasusnya seperti gaya rambut suku indian mohawk yang sudah ada sebelum punk. Namun orang cenderung menggeneralisir semua gaya rambut mohawk sebagai representasi punk. Padahal tidak semua orang yang berambut mohawk menganut ideologi punk. Demikian pula halnya pada pemahaman minor label atau self-released yang disetarakan indie, padahal keduanya bukan parameter mutlak bagi status indie. Oleh karena itu, perlu ada pembelajaran bagi masyarakat agar mereka tidak latah terhadap istilah “indie”. Artinya publik patut memahami bahwa segala sesuatu yang independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label).
Sesungguhnya istilah indie sebagai independensi dalam pengertian (2) bermula dari identifikasi terhadap subkultur pop underground di Inggris yang berevolusi antara era punk hingga post-punk selama periode 1977 s/d 1986. 1977 ditandai oleh “Nevermind the Bollocks”-nya Sex Pistols dan 1986 melalui dirilisnya kaset kompilasi C86 yang menjadi bonus majalah New Musical Express (NME). Asal mula kata independent menjadi indie bermula dari tabiat anak-anak muda Inggris yang suka memotong kata agar mempermudah pelafalan informal seperti; distribution menjadi distro, british menjadi brit, dsb. Di balik pemendekan kata independen itu kemudian terkandung sebuah definisi kontekstual indie yang menjadi basis pergerakan subkultural. Sehingga sejak masa itu tidak sembarang makna independen secara umum bisa diasosiasikan dengan indie. Namun hingga kini pun orang awam masih sering salah paham dengan menyamakan makna indie dalam wacana (2) dengan independen dalam wacana (1).
Kenapa disebut indie? Sebab akhir 70-an hingga awal 80-an merupakan masa pancaroba dari musik punk ke arah post-punk dan orang Inggris kala itu mulai menggunakan istilah tersendiri guna menjuluki kecenderungan musik punk yang semakin pop, yakni: indie. Secara awam, “Nevermind the Bollocks” adalah icon kejayaan punk. Namun bagi musisi underground Inggris, album Sex Pistols tersebut justru menjadi batu nisan bagi perlawanan punk yang sesungguhnya. Mereka menganggap irama punk sudah menjadi terlalu klise. Karena itulah mereka kemudian mulai mengolah referensi dari soul, folk, pop, dub, dan berbagai sound yang selama itu dianggap sebagai musik lunak. Meskipun secara musikal karakter punk-nya mulai berkurang, namun pendekatan maupun sikap mereka terhadap musik masih menunjukkan anomali punk. Salah satu pelopornya justru vokalis Sex Pistols sendiri, John Lydon, dengan eksperimen pop dia bersama Public Image Limited dan sikap frontalnya dalam memprogandakan anti-rock movement. Pengertian anti-rock di sini bukan berarti tidak ada unsur rock dalam musiknya, namun lebih kepada pendobrakan stigma bahwa rock harus brutal, macho, cadas, dan gahar. Sikap anti-rock ini sebenarnya juga merupakan turunan dari budaya mod di era 60-an ketika generasi muda Inggris mulai “memberontak” dengan musik yang stylish dan menentang segala atribut berbau rocker. Perkembangan dari sikap itulah yang kemudian melahirkan sebuah pola estetika indie sebagai counter-culture terhadap mainstream. Indie menjadi representasi anak-anak kutu buku berkaca mata tebal yang mengeksplorasi punk sesuka mereka tanpa harus bergaya rocker atau punk. Kelahiran indie juga mewakili wacana politik sayap kiri hingga feminisme di scene musik underground. Scene ini menciptakan band-band pop yang punya sikap maupun kepedulian sosial dalam bermusik dan tidak melulu berdagang lirik asmara. Kalaupun menyerempet cinta, itupun masih dibalut oleh kepekaan politik yang cerdas seperti Belle and Sebastian dalam “Marx and Engels” atau Camera Obscura dalam “Anti- Western”.
Secara musikal, indie berakar dari improvisasi punk yang merambah independensi menuju pop dan menentang stereotipe yang menganggap musik pemberontakan harus identik dengan rock'n'roll. Sehingga lagu yang mereka hasilkan pun tidak cukup pop untuk disebut pop namun juga tidak cukup punk untuk disebut punk. Di sinilah terjadinya evolusi post-punk dan proto-indiepop sampai menemukan karakternya sebagai indie. Buletin tahunan Billboard pada 1981 mencatat betapa fenomena musik indie di Inggris mulai menunjukkan eksistensinya walaupun masih sebatas wacana ekslusif. Kita bisa mencermati dokumentasi “24 Hours Party People” ketika seseorang di akhir 70-an masih awam terhadap musik indie. Adegan itersebut mengilustrasikan bagaimana istilah indie kala itu belum tersosialisasi. Pada 1981, NME juga merangkum eksistensi post-punk dalam kaset C81. Namun karena aroma punk-nya masih dominan, kompilasi itu tidak terlalu membawa perubahan.
Pada pertengahan 80-an, sekelompok band indie yang memiliki keunikan musik sejenis sering berpentas di London Club Circuit. Kala itu yang menjadi pionir adalah The Pastels dan Primal Scream. Kesamaan mereka adalah sound 60’s melodic pop yang dikombinasikan dengan kemampuan sederhana untuk bermain instrumen. Mereka mendapat perhatian dari 2 pemilik club, Crane Canning dan Simon Esplen. Lalu NME yang tidak kenal lelah untuk mencari scene baru, dengan dibantu Canning dam Esplen, mulai mengompilasikan mereka guna memperkenalkan band-band baru ini dan menawarkan untuk dijadikan bonus eksklusif bagi tabloidnya. Kaset kompilasi inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai C86 yang menjadi kiblat bagi musisi indiepop hingga sekarang. Ketika spesifikasinya kian kental dengan nuansa pop lalu musik itu mulai disebut indie. Namun komparasi pop dan punk pada masa itu berbeda dengan pop-punk masa kini yang karakternya mainstream.
Bagaimanapun format pop yang dieksplorasi oleh musisi indie dari masa ke masa, mereka tetap bertahan dalam koridor non-mainstream karena menyadari statusnya sebagai counter-culture terhadap mainstream. Dengan resistensi semacam itu, sebagian besar dari mereka memilih untuk merekam dan merilis karya mereka sendiri atau melalui minor label yang berhaluan indie. Namun fenomena ini kemudian disalahpahami oleh orang awam bahwa indie semata-mata menunjukkan status independensi sebuah band yang tidak dirilis oleh major label. Padahal sebelum pergerakan indie muncul, sudah banyak band era 50/60-an yang merilis karya mereka secara minor label dan itu tidak termasuk atau disebut indie. Sebaliknya justru banyak juga band indie yang bernaung di major label. Pada awal pencetusan di Inggris, sebenarnya pengertian indie dan indiepop mengacu pada pemahaman yang sama. Artinya saat itu bila kata indie disebut/ditulis tanpa imbuhan pop, anak-anak muda Inggris cukup mengerti spesikasi musiknya berupa pop independen yang berakar dari punk. Setelah NME merilis C86 pada 1986, indiepop mulai menemukan jati dirinya melalui kaset tersebut. Dari sinilah muncul istilah C86 movement karena kompilasi itu menjadi fondasi pergerakan sebuah subkultur yang kini dikenal sebagai indiepop. Secara koheren, indiepop adalah pop yang berkarakter independen dalam pengertian (2), bukan (1). Band indiepop tidak harus berada di minor label, mereka bisa dan boleh saja dirilis oleh major label. Namun akan lebih ideal dan karismatik bila band tersebut memilih bernaung di bawah indie label.
Eksponen paling berpengaruh dalam gerakan C86 adalah Sarah Records. Mereka sebenarnya bukan label indiepop pertama. Sebelumnya sudah ada Cherry Red dan El Records yang juga berkarakter indiepop. Namun secara pergerakan, reputasi Sarah Records menjadikannya pionir dan legenda sebagai label yang sangat agitatif dan produktif dalam mempropagandakan indiepop ke berbagai belahan bumi. Idealnya seorang musisi indiepop jaman sekarang patut memahami Sarah Records dan sejarahnya karena inilah fundamen dari scene yang dia jalani. Sedangkan di Amerika salah satu label indiepop paling berpengaruh adalah K Records. Kalau Sarah Records dan scene indiepop Inggris dikenal melalui pesan-pesan politisnya yang kekiri-kirian, Amerika lebih bertumpu ke desentralisasi kultur pop. Mereka menekankan pentingnya kesadaran dan kemauan para scenester untuk mewujudkan indiepop sebagai musik pop yang bergerilya secara underground. Namun seperti uraian di atas, dalam perkembangannya istilah indie mengalami perluasan makna akibat eksploitasi media massa yang menjadikannya rancu. Secara general, definisi indie di Indonesia cenderung dipublikasikan sebagai pola kerja mandiri semata. Padahal esensi indie bukan sekadar kemandiriannya saja, namun lebih kepada Roots-Character-Attitude (RCA) yang bertumpu pada resistensi terhadap mainstream. Sebagai contoh, The Smiths dan New Order dirilis oleh Warner Music namun reputasinya masih diakui sebagai band indie karena RCA mereka adalah indie. Bahkan secara internasional indie diakui sebagai genre. Itu artinya, ada sebuah konsensus global yang memahami indie dalam spesifikasi musik tertentu.
Ketika makna indie diperluas sampai musik brutal/extreme, ekperimantal, atau cutting edge non-pop, pemakaian istilah itu masih relevan karena sifatnya sebagai sesama budaya tandingan dari mainstream. Namun penggunaan kata indie sangat tidak tepat bila disandang band yang memainkan musik pop mainstream ketika mereka merekam/merilis lagunya sendiri. Karena bagaimanapun juga musik mereka bukan indie walaupun pola produksinya seperti “indie”. Lalu bagaimana menentukan band itu indie atau bukan? Disinilah arti penting parameter RCA yang telah disebutkan tadi. Guna mendistribusikan rekaman indie, para scenester (aktivis musik) indie membangun jalur distribusi di luar sistem mainstream yang kemudian dikenal sebagai distro. Dengan demikian, indiepop sebenarnya menerapkan unsur-unsur budaya resistensi punk walaupun para pelakunya tidak berdandan ala punk. Keistimewaan indie terletak pada jaringan kerjanya. Indie tanpa networking akan menjadi benteng tanpa prajurit. Dalam relasinya indie cenderung lebih mengedepankan unsur humanis. Dukungan mutualisme semacam ini sebenarnya adalah warisan dari 3 dekade silam ketika indie label yang lebih besar memberi dukungan kepada indie label yang lebih kecil untuk berkembang lebih pesat tanpa mengawatirkan rivalitas pasar. Indie bergerak kepada orientasi pendengar yang segmentatif. Kalaupun akhirnya mendapat respon luas, itu dianggap senagai bonus saja. Faktor penentunya adalah sikap artis/band indie tersebut ketika mulai dikenal secara luas. Mereka harus lebih bijak dalam menjaga pakem agar karakternya tidak terseret menjadi pasaran atau kacangan.
Bisa dibilang indie yang ideal adalah indie yang ekslusif. Bahkan bagi anak-anak indiepop: semakin eksklusif sebuah band, semakin layak band itu dijadikan panutan. Namun ekslusif di bukan berkonotasi negatif. Eksklusivitas dalam indiepop bukan berarti perbedaan kelas secara sosial/ekonomi/budaya, namun lebih kepada perlindungan dari eksploitasi mainstream. Salah satu contoh band indie lokal yang paling ideal adalah Pure Saturday. Mereka punya fanbase yang solid di komunitas indie tapi secara mainstream mereka tidak terekspos. Eksploitasi yang berlebihan justru akan memudarkan musik indie itu sendiri. Ibarat warna, indie adalah abu-abu yang tidak selayaknya menjadi hitam atau putih. Indiepop perlu dikenal tapi tidak menjadi terkenal secara berlebihan. Sebenarnya publikasi yang luas bagi indiepop hanyalah untuk menjangkau dan mempersatukan fanbase yang sporadis. Namun seringkali eksesnya justru menjadikan indie terjerat oleh budaya latah, apalagi di Indonesia. Publik cenderung memanipulasi makna independensi secara mutlak dalam tafsir etimologi semata. Karena itulah makna indie di Indonesia menjadi simpang siur akibat pemaknaan independen secara harafiah tanpa pakem ideologis. Padahal secara global indie sudah diakui sebagai genre, bukan sekadar pola kerja. Sebagaimana relevansinya dengan indie secara subkultur, indiepop adalah pop independen yang menjadi counter-culture terhadap pop mainstream. Namun pengertian pop yang independen jangan disalahpahami sebagai kemerdekaan absolut karena indiepop tetap mengacu pada pakem tertentu. Parameter tersebut adalah RCA yang mengacu pada subkultur indiepop itu sendiri. Singkatnya indie adalah etos cutting edge, avant garde atau budaya kreatif yang menjadi alternatif dari pola-pola musik pada umumnya.
Seiring perkembangan corak musik, indiepop masa kini secara musikal memang tidak lagi sarat dengan punk. Namun etos punk masih dan akan selalu dianut olah para musisi indiepop di belahan dunia manapun. Dengan musik yang sangat catchy dan selling, sebenarnya banyak band indiepop yang berpeluang besar untuk menjadi artis jutaan kopi dengan menawarkan demo ke major label. Namun mereka tidak melakukan itu karena orientasi mereka bukan sekadar popularitas dan kemewahan, namun lebih kepada kepuasan personal dan idealisme dalam berkarya. Bahkan ada yang menolak tawaran manggung hanya karena skala pentas dan panggungnya terlalu besar.
Sikap semacam itu pun banyak ditunjukkan band indiepop lainnya dengan menjaga jarak dengan pers umum. Inilah contoh sikap punk yang berbeda dari stereotipe artis mainstream. Musisi lokal yang memang ingin menjadi indie seharusnya banyak belajar dari situ sehingga mereka tidak menjadi popstar wannabe yang terobsesi gemerlap popularitas secara mainstream. Kurt Cobain bisa jadi contoh ideal sebagai figur musisi indie karena dia malah depresi saat musiknya kian terkenal dan pasaran. Indiepop mengajarkan pada kita bahwa pop tidak diukur dari sebarapa banyak rekaman yang terjual atau seberapa banyak penggemarnya. Ketika industri mainstream menganggap musik yang bagus harus dilegitimasi oleh hype/trend massal dan dominasi chart, indiepop secara murni menghargai musisi dari musiknya, bukan dari popularitas. Indiepop juga meyakini bahwa pop tidak harus masuk Top 40 atau diliput media mainstream. Pop dalam konteks indiepop adalah cita rasa berbalut sikap menentang mainstream.
Kurang lebih 10 tahun sudah indiepop eksis di Indonesia sebagai sebuah genre dan kultur tandingan; setipe dengan metal, punk maupun hardcore bersama fanzine-nya yang telah berkembang lebih dahulu. Bandung dan Jakarta adalah dua kota yang menjadi sentra kemunculan dan berkembangnya indiepop di negeri kita. Dari sana baru beberapa tahun kemudian indiepop mulai menyebar sampai ke Jogja, Surabaya, Semarang, bahkan hingga kota kecil seperti Purwokerto, Malang, Bogor, Salatiga, dst.
Indiepop muncul dan berkembang di Bandung seiring perkembangan musik underground dengan band seangkatan Koil, Puppen, Full of Hate, dsb. Kehadiran indiepop di kota ini bisa dilacak melalui grup semacam Pure Saturday yang pertama kali merilis rekaman secara independen pada 1995 dan Cherry Bombshell yang mengedarkan demonya sebagai publikasi secara independen. Selain mereka, banyak juga band yang lahir pada masa itu dan sesudahnya, seperti Kubik, The Milo, The Jonis, sampai munculnya para eksponen baru lewat Mocca dan Homogenic di bawah label independen Fast Forward yang lebih dulu memberi input bagi scene lokal dengan merilis band-band indiepop mancanegara seperti The Cherry Orchard (France), 800 Cherries (Japan), Ivy (US) dan Club 8 (Sweden). Selain Fast Forward, Poptastic! Records juga menjadi referensi handal dengan merilis kompilasi Supadupa Fresh Pop yang berisi sejumlah band indiepop Jerman. Di samping band, Bandung juga cukup potensial dengan ramainya acara indiepop hampir setiap minggu. Acara berjudul Poptastic! yang diadakan oleh Poptastic! Records merupakan event bersejarah dalam perkembangan indiepop di Indonesia. Majalah cutting edge dari kota ini, Trolley, telah menjadi media pionir yang memicu wacana indiepop secara mendalam. Hingga sekarang perkembangan scene di Bandung semakin marak dengan pentas reguler semacam Les Voila maupun berbagai program radio khusus indiepop semacam Micropop, Popclusive, Pop Till You Drop, dsb.
Menyeberang ke Ibu Kota, indiepop di Jakarta tiada bedanya dengan yang terjadi di Bandung. Semarak indiepop di Jakarta lahir dari hingar bingarnya britpop yang terjadi di Inggris pada pertengahan era 90. Black Hole, Poster, dan beberapa venue bersejarah di Jakarta sangat mendukung penampilan band indiepop lokal yang kala itu lebih bervarian britpop. Generasi pertama diantaranya Pestol Aer (eksis sejak awal 90-an sebagai band punk namun beralih ke indiepop setelah merilis LP s/t pada 1995), Planet Bumi (produktif membuat 3 LP independen sejak 1995), Rumah Sakit (membuat rilisan independen sejak 1996), New Disease, Molenvliet, Gunting Kuku, dan sederet nama aneh lainnya. Young Offender dan Slammer merupakan komunitas yang kerap mengadakan acara dengan band-band tersebut. Dinamika band indie/britpop Jakarta ini bisa dilacak lewat fanzine lokal bernama Protection yang kini telah bermutasi menjadi webzine.
Beberapa tahun kemudian, Jakarta semakin berkembang dengan lahirnya generasi baru yang tidak sekadar terpengaruh britpop, melainkan varian yang lebih progresif (twee, jangle, bliss, folk, dsb.). Blossom Diary, Santa Monica, The Sweaters, Sugarstar, C’Mon Lennon, Ballads of the Cliché, Belladonna, dan The Sastro adalah sekian dari banyak penerus kultur indiepop saat ini. Jangkauan mereka pun makin mendunia dengan dirilisnya karya mereka oleh berbagai label indiepop di luar negeri. Eve Zine yang terbit sejak pergantian millennium adalah media independen asal Jakarta yang secara konsisten membahas band dan berita-berita indiepop paling aktual. Perkembangan indiepop di Jakarta juga ditunjang oleh maraknya komunitas yang tersebar di hampir seluruh penjuru Ibu kota seperti Balai Pustaka, Senayan Street, dsb. Berkat pergerakan semacam itulah scene Jakarta mampu terus berkembang melalui regenerasinya yang sangat dinamis.
Munculnya indiepop di Jogja juga tidak bisa dipisahkan dari perkembangan subkultur tersebut di Bandung dan Jakarta. Kebangkitan indiepop di DIY bermula pada awal 2000 dari beberapa mahasiswa yang berkumpul secara komunal setiap akhir pekan di Gelanggang Universitas Gadjah Mada dan mengukuhkan eksistensinya dengan nama Common People. Seperti halnya Young Offender di Jakarta atau Space City di Surabaya, Common People banyak memberi kontribusi bagi perkembangan indiepop di kota ini. Bentuk konkritnya adalah Garage Party, sebuah acara rutin bagi band-band indiepop untuk unjuk gigi dan sarana gathering, sekaligus mencari massa baru. Bangku Taman, Strawberry's Pop, Anggisluka, Klinik Mata dan Morning Glory adalah sederet band yang muncul pada awal perkembangan indiepop di Jogja. Dinamika indiepop di kota ini juga diwarnai dengan munculnya Blossom Records dan fanzine seperti Shine (2001) dan Square (2002) yang mengulas indiepop berupa feature, interview maupun review musik. Blossom Records yang berdiri sejak 2002 merupakan salah satu minor label di Jogja yang mempublikasikan band-band indiepop melalui LP, EP, maxi-single maupun kompilasi. Sekarang kultur indiepop di kota ini mengalami perkembangan progresif lewat eksponen baru yang sangat potensial seperti Plastic Dolls, The Monophones, The Superego, Dojihatori, The Dolphins, Ruang Maya, dan Indiepop Rising Club, sebuah collective network yang mensosialisasikan kultur indiepop kepada publik DIY melalui program Outerbeat, Blissteria, Ordinary Girl, Pop Kinetic, dsb.
Dalam skala global, indiepop telah berkembang menjadi jaringan kerja antar bangsa yang memungkinkan terjadinya rotasi untuk saling merilis rekaman di negara masing-masing. Gejalanya mulai dirasakan oleh band-band indiepop Indonesia yang telah dirilis di Swedia, Jepang, Singapore, Spanyol, Peru, dst. Mereka bisa saling berkomunikasi dengan baik karena idealisme mereka terhadap indie sama-sama merujuk kepada pemahaman internasional, yakni spesikasi musik tertentu yang berakar dari fenomena C86 maupun Sarah Records. Jaringan ini akan semakin solid dengan munculnya generasi baru yang tumbuh dengan idealisme mengakar dalam jiwa mereka, yaitu spirit independensi untuk selalu menjadi counter-culture terhadap musik mainstream, resistensi pada tren atau selera awam, dan idealisme self-sustain/self-indulgement yang menjadi karakter eksistensinya, seperti kawan-kawan mereka di negara lain di seluruh belahan dunia.
Semoga wacana ini bisa menjadi pengantar bagi kamu yang ingin lebih mendalami musik indie. Mulailah dengan memahami bahwa independen belum tentu indie dan indie belum tentu independen (secara label). Dari situ niscaya kamu akan memperoleh pencerahan untuk menyadari bahwa selama ini “indie” yang dimanipulasi secara mainstream adalah suatu pembodohan. Jadi kalau ada band pop non-major label yang musiknya setipe Colpdlay atau Nidji dan mereka mengklaim dirinya “indie”, berarti kamu sedang dibodohi. /Words: Rise’n’Shine( ZEEK! MAGZ )